ZAKAT FITRAH EMPAT MAZHAB

ZAKAT FITRAH EMPAT MAZHAB
Oleh Dr. Apdoludin, S.Pd.I., M.Pd.I
Jum’at, 9 Ramadhan 1439 H

Zakat fitrah adalah sebagai zakat yang wajib dilaksanakan bagi setiap orang Islam (muslim) terlepas dari ukuran kekayaan, jenis kelamin, umur serta dari status atau posisinya dalam masyarakat. Setiap umat muslim wajib untuk mengeluarkan sebagian dari makanan pokok menurut syari’at agama Islam setelah mengerjakan puasa bulan Ramadhan setiap tahun begitupun pada tahun 1439 H/ 2018 M. Hal tersebut dijelaskan dalam hadist shahih Nabi Muhammad SAW, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
 فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ الْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum, atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan orang Islam. Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi menunaikan shalat" (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menjelaskan tentang kewwajiban zakat fitrah serta besaran yang wajib dikeluarkan. Adapun ukuran atau besaran zakat fitrah tiap individu yang wajib dikeluarkan adalah 1 sha' makanan pokok.
Satu sha' menurut mazhab MALIKI setara dengan empat mud dimana satu mud sama dengan sebanyak isi telapak tangan sedang jika mengisi keduanya lalu membentangkannya (Subulus Salam, hal. 111) atau sama dengan 675 Gram. Jadi satu Sha 'sama dengan 2700 Gram (2,7 kg) (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, Dar al-Fikr, tt, Juz II, hal. 910).
Menurut mazhab SYAFI'I, satu sha' sama dengan 693 1/3 dirham (Al-Syarqawi, Op cit, Juz I, hal. 371. Lihat juga Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Dar al-Fikr, Juz I, hal. 295; Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Dar al-Fikr, Juz II, hal. 141), setara dengan 4 mud (Lisaanul Arab 3/400) atau 2751 gram (2,75 kg) (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiq al Islami Wa Adilatuhu, Dar al-Fikr, Juz II hal, 911). Takaran/ukuran ini sependapat dengan kalangan mazhab HAMBALI bahwa satu sha' sama dengan 2751 gram (2,75 kg).
Berbeda dengan pendapat imam HANAFI yang menjelaskan satu sha' menurut madzhab ini adalah 8 rithl ukuran Irak. Satu rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg) (Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah Zuhailli Juz II, hal. 909). Bahkan, madzhab HANAFI memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan harga atau uang yang senilai dengan bahan makanan pokok dibayarkan, sedangkan madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali tidak boleh. Ke-3 Imam tersebut hanya mewajibkan menunaikan zakat fitrah dengan makanan pokok seperti kurma dan gandum atau bahan pokok yang biasa dikonsumsi sehari-hari oleh penduduk suatu tempat contoh-nya beras untuk di Jambi.
Sementara HASIL RAPAT KEMENTRIAN AGAMA KABUPATEN/KOTA DALAM PROVINSI JAMBI diantaranya:
1.    Kota Jambi
Hasil rapat Kementerian Agama Kota Jambi, Senin 30 April 2018 tentang penentuan besaran zakat fitrah tahun 1439H/2018M di aula kantor Kementerian Agama Kota Jambi. Rapat tersebut dihadiri oleh Kepala Kemenag Kota Jambi, Ketua BAZNAS Kota Jambi, Ketua MUI, PEMDA Jambi, pejabat dilingkungan Kontor Kementerian Agama Kota Jambi, kepala KUA, Kecamatan beserta staf Bimas Islam dan penyelenggara Syari’ah. Adapun hasil rapat tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Hasil uji takaran beras yang telah dilakukan dengan menggunakan takaran10 canteng (kaleng susus) beratnyan adalah 2,77 kg
b)      Bagi yang mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (Muslim penganut mazhab Imam Hanapi) maka nilainya:
1)      Beras tertinggi 51.300
2)      Beras menengah 45.600
3)      Beras terendah 36.100
2.    Kabupaten Bungo
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bungo, Hasbi, mengatakan "Sesuai hasil rapat bersama Senin, 21 Mei. Kemenag bersama Pemda Bungo dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan takaran zakat fitrah 2,5 Kg beras per orang, Bila diuangkan harga beras terendah Rp 25.000, harga beras menengah Rp 30.000, harga beras tertinggi Rp 35.000 per orang (http://jambi.tribunnews.com/2018/05/23/)

Penyaluran zakat fitrah harus tepat saran. Adapun mustahiq atau orang-orang yang berhak menerima zakat adalah sebagaimaba firman Allah swt dalam surat At Taubah berikut ini:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 312)
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih parah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih parah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini Allah menyebut fakir lebih dulu dahulu setelah itu menyebut miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 312-313)
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya. (Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 313.)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin memberikan gambaran perbedaan antara fakir dan miskin, “Kita bisa memperkirakan batasan fakir dan miskin dengan melihat pada gaji bulanan. Jika gaji dalam setahun adalah sebesar 5000 riyal (Rp.12,5 jt), sedangkan kebutuhannya 10.000 riyal (Rp.25 jt), dalam kondisi ini seseorang dianggap miskin. Karena ia hanya mampu memenuhi separuh dari kebutuhannya. Jika gaji dalam setahun 4000 riyal (Rp.10 jt), sedankan kebutuhannya dalam setahun 10.000 riyal (Rp.25 jt), dalam kondisi ini ia dianggap fakir. Begitu pula ketika seseorang tidak memiliki pekerjaaan, maka ia dianggap fakir.” (Syarhul Mumti’, 6: 220)
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لِغَنِىٍّ
Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6: 351)
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka  ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 313-314)
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada kebutuhan primer, yaitu pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri dan orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 316)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menerangkan, “Kecukupan yang dimaksud bukan hanya kecukupan individu, bahkan termasuk pula kecukupan orang yang ditanggung nafkahnya. Kebutuhan yang menjadi standar kecukupan bukan hanya makan, minum, tempat tinggal, pakaian, bahkan termasuk pula kebutuhan biologis, yaitu menikah. Jika seseorang butuh akan nikah dan ia sudah cukup berada dalam hal makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal, akan tetapi ia tidak memiliki sesuatu sebagai maharnya, maka ia boleh diberikan zakat untuk maksud tersebut walaupun jumlahnya banyak.  Begitu pula bagi seorang penuntut ilmu, jika ia sudah cukup berada dalam hal makan, minum, tempat tinggal dan pakaian, namun ia sebagai penuntut ilmu butuh akan berbagai buku, maka ia juga boleh diberi zakat untuk keperluan buku yang ia butuhkan.” (Syarhul Mumti’, 6: 221)
Bolehkah memberi zakat kepada fakir dan miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6: 351)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)”( HR. Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839 dan Ahmad 2: 164 . Syarh Sunan Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1: 132)
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 316-317)
Golongan ketiga Amil
Amil atau pengurus zakat yaitu orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Pada dasarnya Amil memiliki pengertian, Orang-orang yang memiliki tugas dalam mengurusi masuk daln keluarnya zakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, Amil dibedakan menjadi empat bagian.
1.    Amil Hasir, Adalah seorang amil yang memiliki tugas dalam pengumpulan orang-orang yang hendak mengeluarkan zakat
2.    Amil Qosim, Adalah orang-orang yang bertugas untuk membagi zakat kepada orang yang berhaq menerima zakat (Mustahiq)
3.    Amil Kisa'i, Adalah orang yang memiliki tugas dalam pemungutan zakat dari para muzakki (orang yang mengeluarkan zakat)
4.    Amil Katib, adalah seorang amil yang memiliki peran dalam mencatan masuk dan keluarnya zakat. 
Golongan keempat Muallaf
Yaitu orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah, orang yang dijinakkan hatinya untuk kepentingan Islam , dan orang kafir yang ada harapan untuk masuk Islam.
Seperti halnya amil, dalam muallaf juga terbagi menjadi beberapa bagi, sekurang-kurangnya ada empat pembagian dalam Asnaf ini, di antaranya adalah:
1.    Seseorang yang baru saja masuk agama Islam dan masih memiliki keyakinan atau keimanan yang belum teguh
2.    Seseorang yang sudah masuk Islam dan telah memiliki tingkat keimanan yang kuat, namun dia juga memiliki derajat sosial yang tinggi dalam pandangan ummat no-muslim.
3.    Orang yang memiliki kedekatan dengan non-Muslim, dan dari kedekatannya tersebut dikhawatirkan akan terpengaruh dengan kejahatan orang kafir tersebut.
4.    Seseorang yang memiliki kedekatan dengan golongan yang berfaham anti zakat, sebab hal ini dikhawatirkan orang tersebut akan terpengaruh dan mengikuti faham mereka.
Golongan kelima Riqob
Yaitu untuk memerdekakan atau membebaskan budak, sehingga ia tak ada ikatan lagi dengan tuannya, serta mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
Golongan  keenam Gharim
Yaitu orang berhutang, orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dapat dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
Pengrtian ghorim adalah, singkatnya orang yang berhutang di jalan Allah. Dalam kaitannya dengan mustahiq yang satu iniini, terdapat beberapa pembagian, di antaranya adalah:
1.    Orang yang memiliki hutang disebabkan dia telah menjamin sesuatu barang yang dimilikinya atau bisa juga disebut menggadaikan.
2.    Orang yang memiliki hutang untuk kebaikan, seperti  ketika ada seseorang yang berhutang demi menyelesaikan perkara dari orang yang sedang bersengketa agar persengketaan diantara keduanya terselesaikan sehingga tidak muncul fitnah.
3.    Orang yang berhutang dan hutangnya tidak digunakan untuk suatu hal yang bersifat kejahatan atau sesuatu yang diharamkan dalam agama, dan pada kasus ini orang tersebut tidak bisa membayar hutangnya dengan cara apapun yang dia bisa lakukan.
Golongan  ketujuh Sabilillah
Sabilillah (Untuk Jalan Allah) yaitu untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin seperti pembangunan musholla, masjid, pesanteren, termasuk orang-orang yang berjuang di jalan Allah, seperti para ulama, ustadz, ustadzah yang mengajarkan ilmu agama di pesantren, musholla, dan lain-lain. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
Golongan  kedelapan Ibnu Sabil
Yaitu orang yang kehabisan ongkos di perjalanan (yang bukan maksiat) dan tidak bisa mempergunakan hartanya, sehingga mengalami kesusahan. Ibnu Sabil juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang sedang dalam perjalanan, dan dalam perjalanannya tersebut mereka telah kehabisan bahan pasok untuk kebutuhannya. Namun dengan catatan orang yang sedang dalam perjalanan itu tidak atas dasar dengan tujuan kemaksiatan. Wallahua’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHUTBAH JUM'AT: LIMA KARAKTER ORANG BERTAQWA SEBAGAI HASIL DIDIKAN RAMADHAN

STKIP MUHAMMADIYAH MUARA BUNGO SOLUSI TERBAIK UNTUK CALON GURU MASA DEPAN