TAMPARAN BAGI PENCERAMAH
NASEHAT BAGI PENCERAMAH
OLEH; DR. APDOLUDIN, S.Pd.I., M.Pd.I
12 RAMADHAN 1439 H.
Penceramah atau pendakwah adalah
tugas mulia yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka yang memiliki ilmu dan fashahatul
kalam yang baik, bahkan tidak berlebihan kiranya saya sebut sebagai bagian
dari kaki tangan Allah dalam menyampaikan risalahnya pada zaman now dipermukaan
bumi. Rasulullah adalah model terbaik dalam memberikan ceramah dan pengamalan
bagi diri sendiri, yang hendaknya ditiru dan dicontoh oleh para penceramah di
muka bumi ini.
Profesi sebagai penceramah adalah adalah
profesi mulia yang akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah swt, tentang
kebenaran informasi yang disampaikan, niat yang tertanam (apakah berdakwah
karena Fulus atau memang memenuhi panggilan Allah swt), terlebih penting
adalah pengamalan bagi diri penceramah tentang informasi yang disampaikan
kepada jamaah.
Fenomena yang terjadi dilapangan tidak
disangsikan lagi bahwa adanya perbedaan antara kata dan realita yang terjadi
pada sebagian kecil dari penceramah, sebagai bukti, penceramah melarang
prempuan untuk membuka aurat namun istri-istri mereka membuka aurat, menyeru
jamaah untuk bersedekah namun ia sendiri enggan untuk bersedekah, tunaikan
shalat fardhu ia sendiri melalaikan shalat fardhu, keluarkan zakat ia sendiri
tidak mengeluarkan zakat, jauhkan maksiat ia sendiri tenggelam dalam maksiat nauzubillahi
minzalik. Untuk para penceramah seperti ini Allah memberikan teguran
sekaligus ancaman sebagaimana firman-Nya surat Shaff ayat 2 dan 3.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ
مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا
تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Hal senada juga terjadi pada Bani Israil, Allah murka dan mencela mereka
dengan firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 44 berikut:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan)
kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu
membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Dalil-dalil di atas menunjukkan peringatan
keras terhadap orang yang punya ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya termasuk
dalam hal ini penceramah. Inilah salah satu sifat orang-orang Yahudi yang dicap
sebagai orang-orang yang mendapatkan murka Allah disebabkan mereka berilmu
namun tidak beramal.
Tidak diragukan lagi bahwa
permisalan orang yang beramar makruf nahi mungkar yang tidak sesuai
dengan action dilapangan adalah seperti dokter yang mengobati orang sakit,
ia berupaya untuk menyembuhak penyakit yang diderita oleh pasien namun ia
sendiri tidak menyadari penyakit yang ia derita lebih parah adari pasien. Satu
hal yang memalukan ketika seorang dokter bisa menyebutkan obat yang tepat untuk
pasiennya namun tidak mampu berpikir untuk menyembuhkan penyakitnya. Demikian tindakan
preventif untuk mencegah penyakit pasiennya kemudian ternyata dia
sendiri tidak menjalankannya. Berdasarkan ayat al quran dan keterangan di atas,
jelas sudah betapa bahaya hal ini, karenanya menjadi kewajiban setiap penceramah
dan muballigh untuk memperhatikannya. Karena jika obyek dakwah mengetahui hal
ini maka mereka akan mengejek sang pendakwah. Belum lagi hukuman di akhirat
nanti dan betapa besar dosa yang akan dipikul nanti.
Perlu disadari sebagian orang tidak
mau melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar karena merasa belum
melakukan yang makruf dan masih melanggar yang mungkar. Orang
tersebut khawatir termasuk orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan. Sa’id
bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar
kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh
melakukannya.” Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai
ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, juzu’ 1 halaman 410)
Sedangkan Imam Nawawi mengatakan,
“Para ulama menjelaskan orang yang melakukan amar makruf dan nahi
mungkar tidaklah disyaratkan haruslah orang yang sempurna, melaksanakan semua
yang dia perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang. Bahkan kewajiban amar
makruf itu tetap ada meski orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia
perintahkan. Demikian pula kewajiban nahi mungkar itu tetap ada meski
orangnya masih mengerjakan apa yang dia larang. Hal ini dikarenakan orang
tersebut memiliki dua kewajiban, pertama memerintah dan melarang diri
sendiri, kedua memerintah dan melarang orang lain. Jika salah satu sudah
ditinggalkan bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan
yang kedua.” (Al-Minhaj, 1/300)
Semoga tulisan singkat ini dapat
memberikan semangat memperbaiki diri dan meluruskan niat bagi penulis dan pembaca pada umumnya,
sehingga semua yang disampaikan diberikan kekuatan oleh Allah swt untuk
mengamalkannya. Jangan berhenti memberikan dakwah kepada jamaah dikarenakan
belum sempurna mengaplikasikan semua perkataan terhadap jamaah namun berupaya
semaksimal mungkin dan berdo’a kepada yang maha segalanya untuk mengamalkan apa
yang telah disampaikan kepada jamaah Allah swt maha tahu bagaimana kesungguhan
seorang muslim sejati untuk berhijrah dan mendekat kepada penciptnya. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar