Mubazzir dan Tahun Baru
Khutbah Jum’at
Oleh:
Apdoludin, S.Pd.I., M.Pd.I
3 Rabiul Akhir
1439
Mubazzir dan
Tahun Baru
Tak terasa sudah hampir dipenghujung akhir tahun masehi 2017.
Seperti terasa baru kamarin januari 2017, kini telah berada diujung tahun.
Namun ada suatu yang harus diketahui disetiap akhir tahun ini, khususnya kita
sebagai muslim dan menjadikan Islam bukan hanya sekedar agama. Adalah perayaan
tahun baru masehi, sebuah budaya yang menjadi sesuatu yang
memang sudah nampak wajar dan tidak aneh ditengah-tengah kaum muslimin.
Jika tidak dilakukan sebagian kaum muslimin hari ini seperti ada yang
kurang lengkap. Padahal tahun baru masehi adalah budaya impor dari barat.
Ditambah lagi adanya segudang pemborosan dimalam pergantian tahun tersebut.
Sehari sebelum hari H, terkadang masyarakat muslim berlomba-lomba
saling banyak-banyakin beli yang namanya mercon, kembang api dan terompet.
Bahkan besarnya uang yang dikeluarkan bukan menjadi masalah asal perayaan tahun
baru tidak terlewatkan. Dan para penjual dadakan pun menjamur dimana-mana.
Ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan dari dua belah pihak. Inilah
kehinaan kaum muslimin setiap akhir tahun masehi. Sesungguhnya kaum muslimin
dimuliakan dengan Islam. Tapi anehnya, justru pemeluk Islam mencari kemuliaan
diluar Islam dengan mengikuti budaya dan tradisi orang-orang barat. Benar apa
yang dikatakan Umar bin Khttab. “Sesungguhnya
kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka janganlah kita
mencari kemuliaan dengan selainnya.”
Tapi apa yang terjadi? Setiap tahun berjuta-juta kaum muslimin
seolah menjeburkan diri dalam kehinaan. Membeli kembang api dan, bangun tengah
malam jam 12, atau dari petang begadang hingga pagi demi menyaksikan pergantian
tahun, bahkan tidak sedikit dari muda mudi yang yang terlibat pergaulan bebas
dimalam tahun baru. Maka mereka yang merayakan itu sama saja melakukan
pemborosan dari berbagai aspek dan menghina diri. Dari segi uang menjadi
hal yang pasti. Kemudian dari segi waktupun tidak bisa mengelak dari segi dosa
pasti akan dikembalikan kepada pelakunya. Kaum muslimin hari ini telah terjebak
dalam rutinitas pemborosan setiap tahun.
Padahal Allah telah mengingatkan kepada kita untuk tidak bersikap
boros. Karena orang yang boros adalah saudaranya syetan.
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ
الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 27)
Pada ayat di atas, orang-orang yang israf dikenal sebagai saudara
dan pengikut setan. Oleh karena itu, di sini bisa dikatakan, siapa saja yang
menggunakan kekayaan dan harta di luar ketentuannya apalagi untuk mengikuti
tardisi yang menyimpang, maka ia telah terlibat dalam perbuatan setan dan
memiliki rasa ketakaburan.
Pasti kita tidak mau kalau Syetan menjadi teman kita. Tapi kenapa
kita suka boros walaupun hanya setahun sekali? Alangkah baiknya jika uang itu
tidak “dibakar” dengan membeli kembang api, dan tidak “ditiup” dengan membeli
terompet. Alihkan uang itu kepada sesuatu yang lebih bemanfaat untuk dunia dan
akherat seperti keberlangsungan pembeangunan masjid kita ini.
Rosulullah mewanti-wanti agar
kita tidak ikut budaya orang kafir. Sebuah pernyataan beliau yang terbalut
sunnah ini menjadi bukti bahwa hal budaya tidak bisa sekedar basa basi, apalagi
tawar-menawar. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa
saja yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud, hasan)
Contoh tentang menyembunyikan
terompet ada larangan dalam hadits berikut ini.
“Nabi
memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada
beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah
bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang
berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun
Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai terompet. Nabi
pun tidak setuju, lantas beliau bersabda
هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُودِ
‘Membunyikan
terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar
memakai lonceng. Nabi berkomentar,
هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى
‘Itu
adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi
Rabbihi pun pulang.” (HR. Abu Daud, no. 498. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Aada yang mengatakan: Kaku, kolot kalau tidak ikut perkambangan
zaman!” Kaum muslimin, ini bukan masalah perkembangan zaman. Ini adalah sebuah
prinsip Islam yang masuk ranah aqidah. Masa aqidah kita gadai hanya gara-gara
“merayakan” budaya kafir? Padahal dalil diatas sudah sangat jelas bahwa kalau
kita meniru dan ikut-ikutan budaya mereka, tanpa sadar kita juga “tidak” jauh
beda dengan mereka. Walaupun shalat kita rajin, sedekah banyak rutin tiap hari,
tapi setiap akhir tahun merayakan tahun baruan, maka bisa diprediksi
kalau ada yang lecet dalam aqidah kita.
Selayaknya nama muslim jangan seolah menjadi stiker yang hanya
ditempelkan saja pada diri kita. Tapi jadikan label muslim sebagai jalan
kemuliaan dan menentang semua segala budaya diluar Islam. Islam terlalu mulia
disetarakan dengan tradisi para yang tidak mau menerima ajaran Islam.
Sudah semestinya kita rubah budaya yang sering dilakukan setiap
tahunnya untuk intropeksi diri. Apa yang sudah kita lakukan tahun sebelumnya
dalam amal ibadah? Apa ada peningkatan didalamnya? Jika meningkat, kita
naikkan lagi kwalitas ibadah. Jika nilai ibadah menurun, maka tidak ada alasan
lagi untuk tidak meningkatkannya. Karena kita tidak tahu apakah masih bertemu
dengan tahun setelahnya. Bahkan tidak ada seorang pun yang menjamin besok kita
masih hidup.
Jadi, katakan “no tahun baruan”. Kita jaga iman kita, dan muliakan
indentitas kita sebagai muslim. Jadikan awal setiap tahun untuk melangkah
ketahun setelahnya dengan banyak intropeksi dan meningkatkan amal
ibadah. Wallahu a’lam bisyowab.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لاَ يَرْتَدُّ ،
وَنَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ ، وَمُرَافَقَةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى جَنَّةِ الخُلْدِ
Artinya:
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-MU iman yang tidak akan lepas, nikmat
yang tidak akan habis, dan menyertai Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam di surga yang paling tinggi
selama-lamanya. (HR. Ahmad, 1: 400; Ibnu Hibban, 5: 303. Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi)
Komentar
Posting Komentar